Jumat, 15 April 2011

pernikahan beda agama

BAB I
PENDAHULUAN
Pernikahan merupakan salah satu jenis ibadah dalam Islam. Setiap manusia yang telah dewasa, dan sehat jasmani rohani pasti membutuhkan teman hidup. Teman hidup yang dapat memenuhi  kebutuhan biologisnya, yang dapat mencintai dan dicintai, yang dapat mengasihi dan dikasihi, serta yang diajak bekerja sama demi mewujudkan ketentraman, kedamaian dan kesejahteraan dalam hidup berumah tangga.
Menurut bahasa, nikah berarti berkumpul atau bersatu. Menurut istilah, nikah adalah melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan serta menghalalkan hubungan tubuh antara keduanya atas dasar sukarela dan persetujuan bersama demi mewujudkan keluarga bahagia yang diridhai oleh Allah SWT.














BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pernikahan Pria Muslim dengan Wanita bukan Muslim
1.      Pernikahan dengan Wanita Shabi’ah[1]
Shabi’ah adalah salah satu golongan dalam agama Nasrani, Shabi’ah dinisbatkan kepada Shab’i paman Nabi Nuh as. Ada pula yang berpendapat, dinamakan Shabi’ah karena berpindah dari satu agama kepada agama lain. Ibnu Hamam mengatakan bahwa orang-orang Shabi’ah adalah golongan yang memadukan antara agama yahudi dan nasrani, mereka menyambah bintang-bintang.
Menurut Imam Syafi’I dan Hambali “apabila mereka lebih mendekati keyakinan mereka kepada salah satu agama (yahudi dan nasrani), maka orang tersebut termasuk golongannya agama itu. Bila tidak mendekati kedua agama itu berarti orang itu bukan ahli kitab.
Abu Hanifah berpendapat tidak boleh kawin dengan wanita Shabi’ah. Sedangkan Abu Yusuf dan Muhammad bin al-hasan asy-Syaibani, tidak membolehkannya, karena mereka menyembah patung-patung dan bintang-bintang. Pendapat MahzabMaliki juga sejalan dengan pendapat ini.
2.      Pernikahan dengan Wanita Musyrik
Tidak diperkenankan bagi pria muslim menikahi wanita musyrik. Perkawinan pria muslim dengan wanita musyrik hukumnya adalah haram.
Hal ini adalah sesuai dengan Q.S.Al-Baqarah : 221 ;
Ÿwur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.ÎŽô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sム4 ×ptBV{ur îpoYÏB÷sB ׎öyz `ÏiB 7px.ÎŽô³B öqs9ur öNä3÷Gt6yfôãr& 3 Ÿwur (#qßsÅ3Zè? tûüÏ.ÎŽô³ßJø9$# 4Ó®Lym (#qãZÏB÷sム4 Óö7yès9ur í`ÏB÷sB ׎öyz `ÏiB 78ÎŽô³B öqs9ur öNä3t6yfôãr& 3 y7Í´¯»s9'ré& tbqããôtƒ n<Î) Í$¨Z9$# ( ª!$#ur (#þqããôtƒ n<Î) Ïp¨Yyfø9$# ÍotÏÿøóyJø9$#ur ¾ÏmÏRøŒÎ*Î/ ( ßûÎiüt7ãƒur ¾ÏmÏG»tƒ#uä Ĩ$¨Y=Ï9 öNßg¯=yès9 tbr㍩.xtGtƒ ÇËËÊÈ
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”.
            Nash ini sudah jelas melarang menikahi wanita musyrik. Begitu pula pendapat para ulama. Pria Muslim tidak boleh menikahi wanita musyrik, baik merdeka maupun budak. Siapa yang dikategorikan musyrikah itu? Syekh Muh.Rasyid Ridho dengan menukil pendapat Muh.Abduh dalam Tafsir al-Manar (VI/187) berpendapat bahwa wanita musyrikah yang dimaksud adalah dari kalangan bangsa Arab karena tidak memiliki kitab suci saat Al-Qur’an diturunkan. Pendapat ini juga mengutip penafsiran klasik jauh sebelumnya yaitu tafsir dari Imam ath-Thabarani (225-31 H).
Menurut pendapat ini kaum majusi (Zoroaster), konghucu, budha dan hindu sebagaimana yang dikemukakan oleh Abdul A’la al-Maududi adalah tergolong ahlul kitab karena diduga mereka pada mulanya memiliki kitab suci.
            Sementara menurut Jumhur Ulama Fiqh bahwa yang dimaksud dengan wanita musyrikah adalah semua wanita kafir selain Yahudi dan Nasrani baik dari bangsa Arab atau non Arab (‘ajam). Hal ini sesuai dengan Q.S.Al-An’am :156 ;
br& (#þqä9qà)s? !$yJ¯RÎ) tAÌRé& Ü=»tGÅ3ø9$# 4n?tã Èû÷ütGxÿͬ!$sÛ `ÏB $uZÎ=ö7s% bÎ)ur $¨Zä. `tã öNÍkÉJy#uÏŠ šúüÎ=Ïÿ»tós9 ÇÊÎÏÈ
“(Kami turunkan Al-Quran itu) agar kamu (tidak) mengatakan: "Bahwa Kitab itu Hanya diturunkan kepada dua golongan[2] saja sebelum kami, dan Sesungguhnya kami tidak memperhatikan apa yang mereka baca[3]”.
Sekiranya orang-orang Majusi dianggap sebagai ahli kitab, maka dalam ayat tersebut 3 golongan bukan 2 golongan.
3.      Pernikahan dengan Wanita Murtad[4]
Murtad adalah orang yang keluar dari agama Islam (baik laki-laki atau perempuan), baik dengan masuk ke agama lain atau tidak memeluk agama apapun baik agama yang dipeluk itu mempunyai kitab suci atau tidak.
Terdapat dalam Q.S.Al-Mumtahanah : 10 ;
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) ãNà2uä!%y` àM»oYÏB÷sßJø9$# ;NºtÉf»ygãB £`èdqãZÅstGøB$$sù ( ª!$# ãNn=÷ær& £`ÍkÈ]»yJƒÎ*Î/ ( ÷bÎ*sù £`èdqßJçFôJÎ=tã ;M»uZÏB÷sãB Ÿxsù £`èdqãèÅ_ös? n<Î) Í$¤ÿä3ø9$# ( Ÿw £`èd @@Ïm öNçl°; Ÿwur öNèd tbq=Ïts £`çlm; ( Nèdqè?#uäur !$¨B (#qà)xÿRr& 4 Ÿwur yy$oYã_ öNä3øn=tæ br& £`èdqßsÅ3Zs? !#sŒÎ) £`èdqßJçG÷s?#uä £`èduqã_é& 4 Ÿwur (#qä3Å¡ôJè? ÄN|ÁÏèÎ/ ̍Ïù#uqs3ø9$# (#qè=t«óur !$tB ÷Läêø)xÿRr& (#qè=t«ó¡uŠø9ur !$tB (#qà)xÿRr& 4 öNä3Ï9ºsŒ ãNõ3ãm «!$# ( ãNä3øts öNä3oY÷t/ 4 ª!$#ur îLìÎ=tæ ÒOŠÅ3ym ÇÊÉÈ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu Telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang Telah mereka bayar. dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang Telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang Telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Murtad ini memiliki beberapa hukum baik dunia atau akhirat. Yang berhubungan dengan akhirat adalah orang yang meninggal dalam keadaan murtad, segala amal kebaikan yang dilakukan menjadi gugur dan ia kekal di dalam neraka. Sedang yang berkaitan di dunia adalah laki-laki muslim dilarang menikahi wanita murtad. Barang siapa menikahi wanita murtad pernikahannya batal dan apabila wanita tersebut telah dinikahinya maka wajib diceraikannya.
Hal ini terdapat dalam Q.S.Al-Baqarah : 217[5] ;
y7tRqè=t«ó¡o Ç`tã ̍ök¤9$# ÏQ#tysø9$# 5A$tFÏ% ÏmŠÏù ( ö@è% ×A$tFÏ% ÏmŠÏù ׎Î6x. ( <|¹ur `tã È@Î6y «!$# 7øÿà2ur ¾ÏmÎ/ ÏÉfó¡yJø9$#ur ÏQ#tyÛø9$# ßl#t÷zÎ)ur ¾Ï&Î#÷dr& çm÷YÏB çŽt9ø.r& yYÏã «!$# 4 èpuZ÷GÏÿø9$#ur çŽt9ò2r& z`ÏB È@÷Fs)ø9$# 3 Ÿwur tbqä9#ttƒ öNä3tRqè=ÏG»s)ム4Ó®Lym öNä.rŠãtƒ `tã öNà6ÏZƒÏŠ ÈbÎ) (#qãè»sÜtGó$# 4 `tBur ÷ŠÏs?ötƒ öNä3ZÏB `tã ¾ÏmÏZƒÏŠ ôMßJuŠsù uqèdur ֍Ïù%Ÿ2 y7Í´¯»s9'ré'sù ôMsÜÎ7ym óOßgè=»yJôãr& Îû $u÷R9$# ÍotÅzFy$#ur ( y7Í´¯»s9'ré&ur Ü=»ysô¹r& Í$¨Z9$# ( öNèd $ygŠÏù šcrà$Î#»yz ÇËÊÐÈ
“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah[6]. dan berbuat fitnah[7] lebih besar (dosanya) daripada membunuh. mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”.
Adapun hukuman di dunia bagi seorang yang murtad ialah dia tidak berhak menerima suatu bantuan apa pun, dilarang bergaul lagi dengan istrinya, sebagaimana layaknya suami-istri. Barang siapa yang menikah dengan wanita yang murtad, maka tidak sah pernikahannya. Hukum ini berlaku berdasarkan ijma’para ulama fiqih; baik pendapat Jumhur ulama yang mengharuskan dibunuhnya orang murtad. Adapun bagi mereka yang bermazhab Hanafi, mereka mengharuskan dipenjara saja bagi orang yang murtad, tidak dibunuh. Perlu diingat di sini, bahwa menjatuhkan vonis (mengatakan) kepada seseorang Muslim bahwa dia adalah kafir atau murtad adalah amat berat sanksinya.
4.      Perkawinan dengan Wanita Atheis atau Komunis
Atheis adalah orang yang tidak mempercayai agama, tidak mengakui Tuhan dan Nabi, tidak mengakui kitab suci dan tidak mengakui adanya akhirat. Laki-laki muslim haram mengawini wanita atheis, lebih haram daripada wanita musyrik. Karena wanita musyrik masih mempercayai adanya Allah SWT, meskipun dia menyekutukan-Nya. Dengan sembahan-sembahan dan Tuhan-Tuhan lain yang dianggapnya dapat memberi syafa’at serta mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Q.S.Luqman : 25 ;
ûÈõs9ur NßgtFø9r'y ô`¨B t,n=y{ ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚöF{$#ur £`ä9qà)us9 ª!$# 4 È@è% ßôJptø:$# ¬! 4 ö@t/ öNèdçŽsYò2r& Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇËÎÈ
“Dan Sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka : "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?" tentu mereka akan menjawab : "Allah". Katakanlah : "Segala puji bagi Allah"; tetapi kebanyakan mereka tidak Mengetahui”.
            Para Ulama sepakat bahwa orang Islam tidak boleh mengawini wanita musyrikah, wanita atheis, dan wanita murtadah tanpa adanya pengecualian[8]. Haram mengawini wanita musyrikah terdapat dalam Q.S.Al-Baqarah : 221.
            Golongan atheis ialah orang-orang komunis, yang hanya percaya pada filsafat material. Kaum komunis menganggap agama itu adalah candu masyarakat. Agama ditafsiri secara material dan buatan manusia. Disebutkan bahwa lahirnya golongan komunis ini disebabkan oleh adanya sebagian dari umat Islam yang tidak memperdalam dan tidak mengetahhui hakikatnya. Mereka itu tertipu dengan ajaran dalam segi ekonomi dan perbaikannya saja, tanpa disinggung hal-hal mengenai agama dan aqidah. Golongan ini harus meninggalkan hal-hal yang subhat atau perkara yang diragukan dan harus mempelajari secara mendalam, sampai dia dapat memisahkan antara iman dan kufur; antara batil dan hak, jangan sampai bersikap tanggung dan setengah-setengah. Mereka yang tetap pada pendirian komunis, maka berlaku hokum kafir baginya. Baik sesame hidup maupun matinya.
5.      Pernikahan dengan Ahli Kitab
Perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab ini terdapat perbedaan pendapat.
a.       Menurut pendapat Jumhur Ulama baik Hanafi, Maliki, Syafi’I atau Hambali : seorang laki-laki muslim diperbolehkan kawin dengan ahli kitab yang berada dalam lindungan (kekuasaan) Negara Islam. Dasarnya adalah firman Allah  Q.S.Al-Maidah : 5;
tPöquø9$# ¨@Ïmé& ãNä3s9 àM»t6Íh©Ü9$# ( ãP$yèsÛur tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# @@Ïm ö/ä3©9 öNä3ãB$yèsÛur @@Ïm öNçl°; ( àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB ÏM»oYÏB÷sßJø9$# àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# `ÏB öNä3Î=ö6s% !#sŒÎ) £`èdqßJçF÷s?#uä £`èduqã_é& tûüÏYÅÁøtèC uŽöxî tûüÅsÏÿ»|¡ãB Ÿwur üÉÏ­GãB 5b#y÷{r& 3 `tBur öàÿõ3tƒ Ç`»uKƒM}$$Î/ ôs)sù xÝÎ6ym ¼ã&é#yJtã uqèdur Îû ÍotÅzFy$# z`ÏB z`ƒÎŽÅ£»sƒø:$# ÇÎÈ
“Pada hari Ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan[9] diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu Telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. barangsiapa yang kafir sesudah beriman (Tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi”.
Demikian pula Ali Al-Shabuni menjelaskan dalam Kitab Tafsir ayat Al-Ahkamnya bahwa maksudnya adalah mengawini perempuan-perempuan merdeka dari perempuan-perempuan mukmin dan perempuan ahlul kitab. Sedangkan mufassir lainnya menyatakan bahwa al-muhshanat adalah perempuan-perempuan yang memelihara kehormatan dirinya.
Adapun dasar keharaman mengawini seorang kitabiyah yang sudah menyimpang kemusyrikan mereka. Firman Allah dalam Q.S.At-Taubah : 31 ;
(#ÿräsƒªB$# öNèdu$t6ômr& öNßguZ»t6÷dâur $\/$t/ör& `ÏiB Âcrߊ «!$# yxÅ¡yJø9$#ur šÆö/$# zNtƒötB !$tBur (#ÿrãÏBé& žwÎ) (#ÿrßç6÷èuÏ9 $Yg»s9Î) #YÏmºur ( Hw tm»s9Î) žwÎ) uqèd 4 ¼çmoY»ysö7ß $£Jtã šcqà2̍ô±ç ÇÌÊÈ
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah[10] dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih putera Maryam, padahal mereka Hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”.
Dengan demikian, seorang wanita musyrik haram dikawini oleh seorang pria Islam.
Yusuf Al-Qardlawi berpendapat bahwa kebolehan nikah dengan Kitabiyah tidak mutlak, tetapi dengan ikatan-ikatan (quyud) yang wajib diperhatikan, yaitu :
a)      Kitabiyah itu benar-benar berpegang pada ajaran samawi, tidak atheis, tidak murtad, dan tidak beragama yang bukan agama samawi.
b)      Wanita kitabiyah yang muhshanah (memelihara kehormatan diri dari perbuatan zina).
c)      Ia bukan Kitabiyah yang kaumnya berada pada status permusuhan atau peperangan dengan kaum muslimin.
Untuk itulah perlu dibedakan antara kitabiyah dzimmiyah dan harbiyah. Dzimmiyah boleh dinikahi, tetapi kalau harbiyah tidak boleh dinikahi[11].
Diantara sahabat ada pula yang nikah dengan ahli kitab yaitu Usman bin Affan yang menikahi Na’ilah binti al-Gharamidah wanita beragama Nasrani yang kemudian masuk Islam. Hudzaifah mengawini wanita Yahudi dari penduduk Madani. Thalhah binti Ubaidilah dengan perempuan Yahudi. Dan juga Ibnu Abbas, Jabir, Kaab bin Malik, Al Mughirah bin Shubah.
b.      Golongan Syi’ah Zaidiyah berpendapat bahwa laki-laki muslim tidak boleh kawin dengan wanita ahli kitab.
c.       Kemudian dikalangan Jumhur Ulama yang membolehkan kawin dengan ahli kitab juga berbeda pendapat :
1)      Sebagian mahzab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali mengatakan bahwa hukum perkawinan itu makruh.
2)      Menurut pendapat sebagian Mahzab Maliki Ibnu Qosim, Khalil bahwa perkawinan itu diperbolehkan secara mutlak dan ini merupakan pendapat Maliki.
3)      Az-Zarkasyi (Mahzab Syafi’i) mengatakan bahwa pernikahan itu disunahkan apabila wanita ahli kitab itu diharapkan dapat masuk Islam. Sebagai contoh adalah perkawinan Usman bin Affan dengan Na’ilah.
Hikmah yang dikemukakan oleh para ulama yang membolehkan perkawinan ini adalah karena pada mulanya dan hakikatnya agama Kristen dan Yahudi itu satu rumpun dengan agama Islam sebab sama-sama agama wahyu. Maka jika seorang wanita Kristen atau Yahudi menikah dengan Laki-laki muslim yang taat dan kuat imannya dapat diharapkan atas kesadaran dan kemauannya sendiri wanita itu masuk Islam.
B.     Perkawinan Wanita Muslim dengan Pria bukan Muslim
Para Ulama sepakat bahwa hukumnya haram dan tidak sah berdasarkan firman Allah dalam Q.S.Al-Baqarah : 221 ;
Ÿwur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.ÎŽô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sム4 ×ptBV{ur îpoYÏB÷sB ׎öyz `ÏiB 7px.ÎŽô³B öqs9ur öNä3÷Gt6yfôãr& 3 Ÿwur (#qßsÅ3Zè? tûüÏ.ÎŽô³ßJø9$# 4Ó®Lym (#qãZÏB÷sム4 Óö7yès9ur í`ÏB÷sB ׎öyz `ÏiB 78ÎŽô³B öqs9ur öNä3t6yfôãr& 3 y7Í´¯»s9'ré& tbqããôtƒ n<Î) Í$¨Z9$# ( ª!$#ur (#þqããôtƒ n<Î) Ïp¨Yyfø9$# ÍotÏÿøóyJø9$#ur ¾ÏmÏRøŒÎ*Î/ ( ßûÎiüt7ãƒur ¾ÏmÏG»tƒ#uä Ĩ$¨Y=Ï9 öNßg¯=yès9 tbr㍩.xtGtƒ ÇËËÊÈ
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”.
            Perkawinan wanita muslimah dengan pria non muslim apapnn agama dan kepercayaannya. Fakta mengingatkan kita kepada peringatan Allah dalam Al-Qur’an untuk senantiasa mewaspadai tipudaya kaum Yahudi dan Nasrani yang tidak akan pernah berhenti melancarkan gerakan permutadan melalui berbagai cara dan media sampai umat Islam mengikuti agama mereka termasuk media perkawinan.
Sebagai Firman Allah Q.S.Al-Baqarah : 120 ;
`s9ur 4ÓyÌös? y7Ytã ߊqåkuŽø9$# Ÿwur 3t»|Á¨Y9$# 4Ó®Lym yìÎ6®Ks? öNåktJ¯=ÏB 3 ö@è% žcÎ) yèd «!$# uqèd 3yçlù;$# 3 ÈûÈõs9ur |M÷èt7¨?$# Nèduä!#uq÷dr& y÷èt/ Ï%©!$# x8uä!%y` z`ÏB ÉOù=Ïèø9$#   $tB y7s9 z`ÏB «!$# `ÏB <cÍ<ur Ÿwur AŽÅÁtR ÇÊËÉÈ
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)". dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu”.
            Dengan pertimbangan manfaat dan madhorot dalam perkawinan beda agama, hukum fiqih dalam perkembangan kontemporer pada prinsipnya cenderung melarangnya dan memandangnya dan memandangya haram sekalipun bagi perkawinan pria muslim dengan wanita ahlul kitab kecuali dalam kondisi, batas, dan prasyaratan tertentu, khusus hal tersebut dengan pertimbangan sebagai berikut :
1.      Kaidah Fiqih Sadd adz-dzariyah yang menekankan sikap prefentif dan antisipatif berdasarkan pengalaman dan analisis psikologis dan sosiologis dan aqidah beda agama untuk mencegah bahaya terjadinya pemurtadan dan hancurnya rumah tangga akibat konflik idiologis dan aqidah akibat perkawinan beda agama.
2.      Kaidah Fiqih dar’ul mafasid muqoddam ‘ala jalbil masholih yang mengajarkan sekala prioritas dalam menentukan pilihan hidup yaitu bahwa mencegah dan menghindari mudhorot berupa kemurtadan dan broken home harus mengutamakan diri pada harapan mencari manfaat dan kemaslahatan berupa menarik pasangan hidup dan anak-anak keturunan nantinya serta keluarga besar pasangan yang berbeda agama untuk masuk Islam.
3.      Pada prinsipnya agama Islam mengharamkan (Q.S.Al-Baqarah :221), adanya ijin kawin seorang pria muslim dengan wanita ahlul kitab (Yahudi atau Nasrani) berdasarkan Q.S.Al-Maa’idah : 5, hanyalah sebuah dispensasi bersyarat (rrukhshoh), yakni bergantung kualifikasi Iman, Islam, dan kepribadian pria muslim itu haruslah bagus.
C.    Hukum di Indonesia mengenai Perkawinan Beda Agama[12]
Mengenai perkawinan undang-undang yang dipakai di Indonesia adalah Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 yang tidak mengatur tentang perkawinan beda agama, pada pasal 2 ayat 1 UUP no. 1 tahun 1974 : “Bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu”. Di dalam penjelasan UUP itu dinyatakan bahwa, “Dengan perumusan Pasal 2 ayat 1 ini, tidak ada perkawinan di luar hokum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945”. Prof. Dr. Hazairin, S.H. secara tegas menafsirkan pasal 2 ayat 1, “Bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggar hokum-hukum agamanya sendiri. Demikian juga bagi orang Kristen dan bagi orang Hindu atau Hindu-Budha seperti dijumpai di Indonesia”.
Pasal 8 menyatakan bahwa perkawinan dilarang antara 2 orang yang mempunyai  hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin. Demikian juga bila diperhatikan ; pasal 57 undang-undang ini mengatur bahwa : Perkawinan campuran adalah perkawinan yang dilakukan oleh 2 orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan. Karena itu, pasal ini tidak saja mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan melainkan juga antara dua orang yang berbeda agama. Dan untuk pelaksanaannya dilakukan menurut tata cara yang diatur oleh Pasal 6 Peraturan Perkawinan Campuran, yang isinya adalah Perkawinan campuran dilangsungkan menurut hukum yang berlaku atas suaminya, kecuali izin para calon mitrakawin yang selalu disyaratkan.
Demikian pula Fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI) Nomor:  4/MUNAS VII/MUI/8/2005 per-tanggal 9-22 Jumadil Akhir 1426 H. / 26-29 Juli 2005 M tentang haramnya pernikahan pria muslim dengan wanita Ahli Kitab berdasarkan pertimbangan kemaslahatan. Meskipun fatwa itu diusung dengan merujuk pada beberapa dalil naqli, tetap saja menghapus kebolehan pria muslim menikah dengan wanita Ahli Kitab sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Maidah ayat 5 tersebut diatas. Dan rupanya fatwa itu dikeluarkan karena didorong oleh keinsafan akan adanya persaingan antara agama. Para Ulama’ menganggap bahwa persaingan tersebut telah mencapai titik rawan bagi kepentingan dan pertumbuhan masyarakat muslim. Namun ada pula Ulama’ yang secara tegas mengharamkan pernikahan antara pria muslim dengan wanita Ahli Kitab. Para Ulama’ ini mendasarkan pendapatnya pada Firman ALLAH Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 221.
               



























BAB III
PENUTUP
Sebenarnya pernikahan antara pria muslim dengan wanita Ahli Kitab diperbolehkan dalam Islam, tetapi karena saat ini sangat sulit sekali ditemui wanita Ahli Kitab yang benar-benar “Ahli Kitab”, maka saya dapat simpulkan bahwa pernikahan beda agama yang ada saat ini tidak dapat dikatakan sah karena hampir tidak ada wanita Ahli Kitab yang benar-benar berpegang teguh kepada Kitab Taurat dan atau Kitab Injil. Karena kedua Kitab suci tersebut yang ada saat ini bukan Kitab Taurat dan Injil yang asli. Sedangkan bagi wanita muslimah yang menikah dengan pria non-muslim, baik pria musyrik maupun pria Ahli Kitab tetap dihukumi haram.
Nabi Muhammad SAW pernah bersabda :
“Wanita itu dinikahi karena empat hal ; karena hartanya; karena keturunannya; karena kecantikannya dan karena baik kualitas agamanya. Maka pilihlah wanita yang baik kualitas agamanya, niscaya kalian akan beruntung”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Maka bagi kaum muslimin dan muslimah, alasan pernikahan beda agama dengan alasan cinta, kesamaan hak, kebersamaan, toleransi atau apapun alasannya tidak dapat dibenarkan.
Perlu pula ditegaskan bahwa masalah pernikahan pria muslim dengan wanita Ahli Kitab hanyalah suatu perbuatan yang dihukumi boleh dilakukan, namun bukan anjuran, apalagi perintah. Karenanya pernikahan yang paling ideal dan yang bisa membawa kita selamat di dunia maupun akhirat serta membawa keluarga kita menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah dan warohmah adalah pernikahan dengan orang seagama yaitu Islam.
Wallahu ‘alam bisshowaab.








DAFTAR PUSTAKA
Al-Humaidhy, Syaikh Humaidhy bin Abdul-Aziz bin Muhammad, (1991), Kawin Campur dalam Syariat Islam, Jakarta : Pustaka Alkautsar.(Judul asli : Ahkamu Nikahil-kuffar Alal-madzahibil-Ar-ba’ah. Penerjemah : Kathur Suhardi).
Al-Jabry, Abdul Mutaal Muhammad, (1996), Perkawinan Campuran Menurut Pandangan Islam, Jakarta : PT Bulan Bintang. (Judul Asli : Jarimatuz-zawaj Bighairil-Muslimat ; Fiqhan wa Siyasatan. Penerjemah : Drs. Achmad Syathori).
Al-Qardhawi, Yusuf, (1993), Fatawa Qardhawi : Permasalahan, Pemecahan, dan Hikmah, Surabaya : Risalah Gusti.
Hasbiyallah, (2009), Masail Fiqhiyah, Jakarta : Direktoral Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI.





[1] Al-Humaidhy, Syaikh Humaidhy bin Abdul-Aziz bin Muhammad, (1991),Kawin Campur dalam Syariat Islam, hal.20.
[2] Yakni orang-orang Yahudi dan Nasrani.
[3] Diturunkan Al Quran dalam bahasa Arab agar orang musyrikin Mekah tidak dapat mengatakan bahwa mereka tidak mempunyai Kitab Karena Kitab yang diturunkan kepada golongan Yahudi dan Nasrani diturunkan dalam bahasa yang tidak diketahui mereka.
[4] Al-Humaidhy, Syaikh Humaidhy bin Abdul-Aziz bin Muhammad, (1991),Kawin Campur dalam Syariat Islam, hal.50.
[5] Al-Qardhawi, Yusuf (1993), Fatawa Qardhawi : permasalahan, pemecahan, dan hikmah, Hal.220.
[6] jika kita ikuti pendapat Ar Razy, Maka terjemah ayat di atas sebagai berikut: Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar, dan (adalah berarti) menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah dan (menghalangi manusia dari) Masjidilharam. tetapi mengusir penduduknya dari Masjidilharam (Mekah) lebih besar lagi (dosanya) di sisi Allah." pendapat Ar Razy Ini mungkin berdasarkan pertimbangan, bahwa mengusir nabi dan sahabat-sahabatnya dari Masjidilharam sama dengan menumpas agama Islam.
[7] fitnah di sini berarti penganiayaan dan segala perbuatan yang dimaksudkan untuk menindas Islam dan muslimin.
[8]Al-Jabry, Abdul Mutaal Muhammad, (1996), Perkawinan Campuran Menurut Pandangan Islam, hal.7.
[9] Ada yang mengatakan wanita-wanita yang merdeka.
[10] Maksudnya: mereka mematuhi ajaran-ajaran orang-orang alim dan rahib-rahib mereka dengan membabi buta, biarpun orang-orang alim dan rahib-rahib itu menyuruh membuat maksiat atau mengharamkan yang halal.
[11] Hasbiyallah, (2009), Masail Fiqhiyah, hal.83.                 
[12] Hasbiyallah, (2009), Masail Fiqhiyah, hal.84-85.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar